Sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah


Dasar pemikiran KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan

pendapat di antara para ahli ilmu bukanlah hal yang aneh. Justru banyak muncul dari perdebatan tersebut, khazanah keilmuwan yang lebih kaya. Termasuk juga di kalangan para kiai di Nusantara. Tak sedikit kisah yang menuturkan perbedaan pendapat atau ijtihad di antara para kiai.

Namun, perbedaan di kalangan para kiai itu tidak lantas menjadikan permusuhan. Bagi mereka, perbedaan (ikhtilaf) adalah rahmat. Dari kredo inilah, perdebatan di antara para kiai tetap panas di meja keilmuwan, namun tetap hangat dan gayeng di luar itu.

Salah satu perbedaan pendapat di kalangan para kiai adalah kisah antara Kiai Ahmad Dahlan Ahyad Surabaya dengan Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari Jombang. Keduanya dikenal sebagai ulama yang pilih tanding. Keilmuwannya dalam bidang agama tak ada yang meragukan.

Perbedaan tersebut, bermula dari persoalan Masjid Paneleh di Surabaya. Masjid tua itu pada kurun dekade 20-an, hendak direnovasi. Bangunannya yang kecil tak lagi menampung jamaah. Akan tetapi, ketika hendak diperluas, ada areal pemakaman yang mengelilinginya. Pemakaman kuno tersebut menjadi polemik tersendiri. Boleh atau tidak menggusur kuburan tersebut untuk perluas masjid?

Dalam buku “Penyerap Gemuruh” (ada pula yang mengartikan “Penyirep Gemuruh”)  yang ditulis oleh KH. Wahab Hasbullah terhadap polemik tersebut, pihak takmir, setelah melakukan konsultasi dan kajian hukum syar’i, memutuskan untuk melakukan perluasan masjid. Namun, di tengah proses pembangunan, pihak pekerja menemukan belulang manusia kala mencangkul tanah bekas kubur yang hendak dijadikan pondasi masjid. Polemik pun kembali menghangat.

Pihak takmir pun kembali mengadakan musyawarah untuk mengambil keputusan. Hendak dilanjutkan atau tidak pembangunan tersebut. Musyawarah atau lebih tepatnya disebut bahtsul masail itu dihelat pada 28 Dzulhijah 1342 H.

Masih dalam sumber yang sama, bahtsul masail tersebut setidaknya dihadiri oleh 14 kiai sepuh di Surabaya dan sekitarnya. Di antaranya adalah Kiai Munthaha Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari Jombang, Kiai Bisri Syamsuri Jombang, Kiai Faqih Sedayu Gresik, Kiai Ahmad Dahlan Ahyad Kebondalem Surabaya dan tentunya Kiai Wahab sendiri yang merekam kejadian tersebut.

Dari permusyawaratan tersebutlah, muncul polemik yang melibatkan dua sosok ulama terpandang, yakni KH. Ahmad Dahlan Ahyad Surabaya dengan KH. Hasyim Asy’ari Jombang. Kiai Hasyim berpendapat bahwa pembangunan boleh dilanjutkan, sedangkan Kiai Dahlan memutuskan sebaliknya.

Argumentasi yang dibangun oleh Kiai Hasyim – sebagaimana tercatat dalam kitab Penyerap Gemuruh – berlandaskan pada kitab Fathul Bari karya Imam Ibnu Hajar al Asqalani dan Tuhfatul Bari karya Imam Zakariya al Anshori. Dari hasil bacaannya tentang bab diperbolehkannya mengeluarkan mayit dari dalam kubur dan batasan-batasannya dari dua kitab itu, Kiai Hasyim mengikuti satu pendapat dari tiga pendapat yang muncul.

Ada tiga jenis pendapat ulama tentang perkara tersebut sebagaimana terurai dari dua kitab syarah Shahih Bukhari itu. Pendapat pertama tidak memperbolehkan sehingga ada ‘bala’ yang akan mengancam keberadaan jenazah. Jika ada, maka boleh dipindah. Pendapat kedua memperbolehkannya dalam kasus-kasus tertentu. Sedangkan pendapat yang ketiga juga memperbolehkan asalkan untuk tujuan mendapatkan kebaikan yang lebih. Pendapat terakhir ini yang dipilih oleh Kiai Hasyim.

Ada beberapa dalil yang dirujuk oleh Kiai Hasyim sebelum memilih pendapat tersebut. Ia merujuk pada hadis “permudalah jangan dipersulit “يسروا ولاتعسروا” serta firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 185, “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tak menghendaki kesulitan.”

Adapula hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, “Perkara yang paling baik menurut Rasulullah SAW di antara dua perkara yang harus dipilih adalah perkara yang paling mudah di antara keduanya…..”

Dari runtutan argumen tersebut Kiai Hasyim memutuskan sebagaimana ditulis oleh Kiai Wahab sebagai berikut:

“Istidlal (mengambil dalil) yang dilakukan oleh Kiai Hasyim terhadap bagusnya pekerjaan tersebut dan diperbolehkannya penggalian, maka ia memperbolehkan untuk sengaja menggalinya dengan niatan untuk kemaslahatan …”

Akan tetapi, argumentasi dari Kiai Hasyim yang cukup runtut dan jelas itu, mendapat sanggahan dari Kiai Dahlan Ahyad. Menurutnya, meneruskan pembangunan masjid dengan mencaplok tanah kubur yang terbukti terdapat tulang belulangnya tersebut sebagai perbuatan haram dan munkar. “Hajat apapun tetap tidak bisa untuk meneruskan (pekerjaan tersebut).”

Sayangnya, Kiai Wahab tak menjabarkan secara rinci landasan dalil dan argumentasi Kiai Ahmad Dahlan Ahyad tersebut. Di mana kala itu, ia bersama dengan Kiai Faqih Sedayu menjadi pihak yang menolak.

Akhirnya, berdasarkan musyawarah tersebut, diambil suara terbanyak yang memperbolehkan meneruskan pembangunan Masjid Paneleh. Kiai Ahyad yang tak sepakat, mufaraqah terhadap keputusan tersebut.

Kiai Miftahul Akhyar mengutip kisah dari bapaknya menceritakan sikap Kiai Ahyad selanjutnya. Kiai kelahiran Surabaya 30 Oktober 1885 itu, sepanjang hidupnya tak berkenan untuk sholat di Masjid Paneleh.

“Secara pribadi pernah diceritai ayah saya waktu kecil tentang sikap konsekuen beliau, Kiai Dahlan, baik secara keilmuan maupun praktik terhadap keputusan para ulama kaliber tentang perluasan Masjid Ampel (Paneleh – peny) Surabaya yang seingat saya sempat menggusur makam sekitarnya. Beliau tidak setuju dengan keputusan itu sehingga sebagai konsekuensinya beliau tidak berkenan sholat di Masjid tersebut,” tulis Kiai Miftahul Ahyar dalam kata pengantar buku “Biografi KH. Ahmad Dahlan Ahyad: Aktivis Pergerakan dan Pembela Ideologi Aswaja” (Pustaka Idea: 2017).

Meski terlibat polemik hingga mufaraqah demikian, tidak lantas membuat kedua ulama sepuh itu bertingkai. Konsekuensi akademis tak serta merta berpengaruh pada ranah sosial. Keduanya tetap menjalin komunikasi dan melakukan perjuangan bersama.

Salah satu contoh yang bisa diketengahkan untuk membuktikan kedekatan dua ulama tersebut setelah berpolemik adalah proses pendirian Nahdlatul Ulama. Keduanya turut terlibat mendirikan. Bahkan, Kiai Hasyim ditunjuk sebagai Rais Akbar NU, Kiai Dahlan Ahyad dipercaya sebagai wakilnya. Begitu juga dengan Kiai Faqih Sedayu, beliau juga turut terlibat.

Hal ini tak lain, karena mereka semua memahami dengan baik kredo: perbedaan adalah rahmat. Patut diteladani, bukan?

Pembahasan mengenai NU dan Muhammadiyah sebenarnya sudah tidak terlalu darurat sekarang, karena suasana hubungan NU dan Muhammadiyah tidak sepanas dulu. Namun sebagai ummat yang kadang jika disodorkan pertanyaan "kamu NU apa Muhammadiyah?" oleh orang awam, dan teliti kita menjawab menjawab Ahlus sunnah wal jamaah, malah membuat si penanya awam itu bingung, lantas tidak kita jelaskan apa itu ahlus sunnah wal jamaah, kita abai pada ummat yang belum faham. Barangkali lebih pas jika kita tahu terlebih dahulu, bahwa NU dan Muhammadiyah itu sama-sama ahlus sunnah wal jamaah, jadi ndak masalah esoknya si penanya bertanya lagi dan kita jawab NU, lantas lusa dia tanya lagi kita jawab Muhammadiyah. Tentu saja penjelasannya menyusul.


NU dan Muhammadiyah ada di wilayah berbeda bung , kitd mesti tahu itu. NU itu di wilayah pemikiran, sedang Muhammadiyah di wilayah amal. KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asyari seperti yang kita tahu sebelumnya diceritakan pernah ngaji bersama pada beberapa guru yang sama di Makkah, tapi rasanya kita juga perlu tahu bahwa mereka juga pernah ngaji di pesantren yang sama di Kendal, bahkan satu kamar di asrama. KH Ahmad Dahlan lebih muda dua tahun dibanding KH Hasyim Asyari. Dan jangan lupa pula, paska khatam dari Mekkah, mereka juga ngaji bareng lagi dengan Kiai Kholil Bangkalan, yang jika diturut nasabnya nyambungke Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Mahzab fiqihnya Syafii, aqidahnya pajak Asy'ariah dan Maturidiyah, rujukan lain sama-sama ke Imam Ghazali juga. Nah, lantas beda dimana?

Bedanya pada bahan bacaannya. KH Hasyim Asyari banyak membaca pemikiran salafy, sedang KH Ahmad Dahlan banyak membaca pemikiran wahabi. Perlu diketahui istilah 'salafy' dan 'wahabi' di Arab dahulu sangat berbeda dengan sekarang. Wahabi dirintis oleh Muhammad bin Abdul Wahab, dan salafy dicetus oleh Muhammad Abduh. Pencitraan yang disamapadankan dengan lentera salafy dicitrakan sebagai golongan ekstrimis di Indonesia adalah pengambilan yang bodoh. Mereka tidak tahu sejarah sehingga secara serampangan menganggap wahabi dan salafy adalah mahzab yang sama sekali utuh.

Muhammad bin Abdul Wahab tampil dengan pemikiran dan kondisi ummat pada saat itu yang sudah terlalu jauh dari agama, maka ia mengembangkan pemikiran 'kembali pada Quran dan hadist'. Semua hal dan permasalahan yang terjadi kemudian diturut pada ayat Quran dan hadist yang cocok sehingga kita dapati kemudian pemikiran wahabi ini datang kaku. Pada kondisi saat itu, pemikiran semacam ini tentu perlu mengingat keadaan ummat yang semakin sakit parah, namun inti ajaran 'kembali pada Quran dan hadist' ini seakan tidak paripurna karena meninggalkan bangunan ilmu terdahulu. Semua permasalahan ummat yang dapat dikembalikan pada Quran dan hadist yang seolah-olah cocok 100% sempurna, tanpa ketinggalan dengan psikologi dan kondisi ummat. Padahal ilmu hadist dan ilmu fiqih lebih dulu lahir ilmu fiqih, sehingga tidak mungkin serta merta meniadakan ulama-ulama fiqih dalam memahami hadist. Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab ini lantas disebut sebagai purifikasi. Pemurnian.

Kemudian lahirlah pemikiran lain dari Muhammad Abduh, dengan pangkal usaha membuka kembali pintu ijtihad. Inti pikirannya juga tetap sama melakukan kritisisme pada kondisi ummat dan ulama terdahulu, namun tidak semuanya, tidak seluruhnya. Soal bangunan ilmu ulama terdahulu tidak seluruhnya tertolak, namun disesuaikan dengan kebutuhan umat. Pemikiran juga membuka diri dari pemikiran barat, yang salah satunya adalah egaliterisme politik, sering kita sebut sebagai demokrasi. Yang sebenar-benar intinya memang telah ada sejak zaman empat khalifah, tentu kita ingat bagaimana empat khalifah yang dipilih melalui jalan musyawarah, kesepakatan bersama, inti demokrasi, intisari yang kemudian berubah menjadi masa dinasti pada kerajaan Muawiyah. Itulah demokrasi yang sebenarnya,

Nah, salafy dan wahabi menjadi padu sepadan pada fiqih ibadah, diantara banyak dasar fiqih dan pemikiran lain. Hal tersebut kemudian secara bodo disamakan oleh para perusak ukhuwah islam bahwa salafy dan wahabi adalah sama, dan radikal, ekstrim, mengancam ketentraman ummat. Dua-duanya lahir dari pemikiran mendalam kondisi dan kerusakan ummat pada zaman itu, pemikiran yang sama-sama berdiri untuk kembali memurnikan dan memegang teguh islam secara utuh.

Nahdlatul Ulama

NU Boyolali menerbitkan satu buku yang seolah olah inovatif, dimana buku ini jarang sekali ada yang terbitan NU. Pada buku itu, salah satu isinya menyiratkan bahwa NU Boyolali melakukan kritik pada kondisi NU itu sendiri yang saat ini terlalu mengutamakan tanfidiyah (organisasi) dan bukan syuriah (ulama). Padahal bangunan dasar NU adalah ketaatan pada dewan ulama dengan pertimbangan dan pengalaman yang lebih, mengambil keputusan oleh para golongan muda di organisasi.

NU sebenarnya sangat menjunjung tinggi ilmu, KH Hasyim Asyari sendiri mengatakan bahwa “anda harus tahu siapa guru anda, guru anda belajar dan berguru pada siapa, sehingga ilmunya dapat dirunut hingga ulama terdahulu. Rumah itu dimasuki lewat pintu, bukan lewat jendela, kalau anda masuk rumah tidak lewat pintu, itu berarti anda. ” Seolah ingin mengatakan, sama seperti ilmu, kalau tidak didapatkan lewat guru yang berurut riwayat ilmunya, maka ilmu itu seperti ilmu curian saja, terpotong-potong, tidak utuh, tidak jelas.

Maka pentingnya pondok tradisional saat ini sudah seperti membangun negara baru saja, seperti Gontor yang banyak menghasilkan tokoh negeri, pun Sidogiri yang konsisten menyeimbangi kebingungan masyarakat ditengah banyaknya 'kiai' palsu. Yang nyata dapat dijadikan contoh peristiwa adalah kritik buku Quraish Shihab oleh sekumpulan pemuda lulusan Aliyah pondok Sidogiri. Buku Quraish Shihab yang bejudul “Sunni-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? ” Yang terbit PADA Kisaran Maret 2007, di- kontra DENGAN apik Hanya hearts hitungan bulan DENGAN terbitnya buku “Mungkinkah Sunnah Syiah Bersatu Dalam Ukhuwah?” pada kisaran September 2007 yang dipimpn oleh anak muda bernama Ahmad Qusyairi Ismail.

Inilah awal bahwa pendidikan di pesantren sangat tepat dan sesuai kebutuhan, hingga setingkat lulusan Aliyah saja dapat dengan elegan merubuhkan logika-logika “kiai profesor” yang hingga hari ini terus membuat ummat bingung. Pendidikan di pesantren tradisional yang masih memegang teguh sistem turun temurun sangat individualis, karena tidak menggunakan kurikulum. Ini justru jadi solusi pendidikan yang pas, trep , santri yang baru belajar satu tahun dapat saja menyaingi pemahaman dan wawasan santri yang telah belajar sekira lima tahun, dan hal ini sah sah saja di pesantren, karena pada hakikatnya kita memang tidak bisa melakukan penyamarataan pada kemampuan dan kapasitas murid. Maka ndakMasalah ada manusia Indonesia yang di pesantren hanya 2,5 tahun plus keluar dengan predikat “diusir”, lantas hari ini jadi guru bangsa yang selalu 'di- sowani ' para calon pemegang kekuasaan negeri hanya untuk 'minta restu'.

Sama seperti saat Imam Ghazali sebagai penasehat kerajaan mulai tidak diindahkan, maka ia memutuskan untuk mundur dari jabatan tersebut dan mengasingkan diri 'mengaji' pada gurunya di pesantren tradisional di daerah terpencil. Oleh gurunya ia ditempatkan di kelas setingkat anak umur paud, bayangkan, qadhi ahli fiqih ditempatkan di kelas umur paud, tapi grup cara khusus pesantren untuk mendidik kematangan emosional dan mental santri-santrinya.

NU sendiri sebenarnya berdiri untuk menangkal perkembangan wahabisme yang terlalu kaku. NU memang punya dendam sejarah pada peristiwa serbuan wahabi ke Mekkah yang pada peristiwa tersebut salah satu syekh NU. Maka KH Hasyim Asyari melakukan pengembangan NU di Indonesia khusus untuk mengantisipasi wahabisme yang kaku yang kebablasan tersebut yang mungkin juga akan menyebar di Indonesia. Kemudian KH Hasyim Asyari mengutus teman ngetop untuk menyusup dan belajar sebagai Muhammadiyah sekaligus mendampingi KH Ahmad Dahlan dalam pengembangan Muhammadiyah-nya.


Muhammadiyah


Kita kadang-kadang menafikan peran NU dalam pencerdasan ummat, padahal jika diperhatikan secara seksama, gerakan NU dan Muhammadiyah memang berbeda wilayah sejak awal, jadi tidak bisa dibenturkan. NU berada pada wilayah pemikiran, lewat bangunan ilmu di pesantren-pesantren tradisional. Dan Muhammadiyah pada wilayah amal, lewat bangunan amal diperkotaan, lewat sekolah, universitas, rumah sakit, dan banyak yayasan sosial.


Untuk memahami itu, kita harus kembali membuka sejarah kapan awal mula Muhammadiyah menjadi gerakan amal. Muasalnya berada pada saat Politik Etis digemakan oleh pemerintah belanda. Politik Etis lahir dari protes kaum intelektual dan kaum rohaniwan Belanda pada Ratu Belanda mengenai hasil bumi dan harta Hindia Belanda (Indonesia) yang kerap digunakan untuk kepentingan Belanda (di Eropa) tanpa memberikan perhatian lebih lanjut pada kondisi ummat kristen di Hindia Belanda. Padahal agama kristen menganggap tanah baru yang penduduknnya tidak beragama kristen adalah tanah yang harus didakwahi. Maka dari situlah dimulai misi Injil. Banyak sekolah kristen, rumah sakit, dan bayak sektor sosial ekonomi yang digunakan atas nama kristen untuk penyebaran penyebaran agama kristen.


Disitulah Muhammadiyah tampil, untuk menyaingi segala hal sosial ekonomi berbasis kristen yang sedang gencar. antara keberadaan muslim dan kristen pada wilayah sosial ekonomi mayarakat, hingga akhirnya dapat menggantikan peran para pastor kriten itu.


Muhammadiyah tidak pernah bicara politik, maka jika pada suatu peresmian pesantren tahfidz pernah saya temui pimpinan daerah Muhammadiyah saja yang berkedudukan suara pemenangan Bupati, saya hanya  ngekek dan berkhusnudzon bahwa orang ini ndaktahu sejarah perpolitikan Muhammadiyah. Muhammadiyah mempunyai wakil khusus di Masyumi dan wakil khusus ini tidak pernah menjadi pejabat tinggi Masyumi. Masyumi sendiri pernah sangat kondusif saat KH Hasyim Asyari masih hidup dan mengeluarkan fatwa bahwa satu-satunya kendaraan politik umat muslim harus lewat Masyumi, hal yang kemudian tidak diindahkan para kader politik muda paska KH Hasyim Asyari wafat hingga menimbul gejolak yang menyebabkan Masyumi bubar oleh Presiden Soekarno, suara NU di Masyumi-pun seolah dipingggirkan dan tidak dapat mengikat, hanya sebagai 'pertimbangan'.


Sejarah mengungkapkan pada kita bahwa kapasitas dan kapabilitas pemimpin dalam organisasi dan konflik hingga ujung bawah ummat adalah hal yang sangat krusial. Konflik ini bertambah beberapa tahun kemudian paska bubarnya Masyumi hingga pada saat itu sangat kentara anggapan “menteri agama dari siapa?” NU atau Muhammadiyah. Hingga saat-saat terparahnya pada tahun 70-an Muhammadiyah melakukan pembedaan dari NU. Shalat tarawih diubah menjadi 8 rakaat ditambah 3 raka'at witir, masjid diubah penandanya menjadi kentongan dari semula bedug, rebutan masjid - ini masjid NU; itu masjid Muhammadiyah, dan banyak lagi gesekan akar rumput yang diawali oleh arogansi politik petinggi kedua belah pihak. Hal ini kelak di-'panas'-kan lagi menjelang lengsernya Soeharto, dimana Gus Dur masuk barisan politik NU sedang tiga pendekar Chicago (Buya Syafii),


Nahdatul Muhammadiyyin


Maka dagelane Cak Nun dadio kowe podo Nahdatul Muhammadiyin wae . Sebuah dagelan yang hanya akan ditanggapi lewat tawa satir mereka yang memang hanya mencari tawa dengan Cak Nun, tapi menjadi sindiran tegas untuk pencari ilmu tenanan , mesti mbukak meneh sejarah, sinau meneh dari awal akar-akar pemikiran KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan , bukan soal NU dan Muhammadiyah. Tidak penting soal NU dan Muhammadiyah, wong kui mung geguyone poro gawan politik wae lho. Ora ngerti opo yen Muhammadiyah yo pernah salat tarawih 20 rakaat, ora ngerti opo yen mbiyen kui mesjide  NU Muhammadiyah podo - ora isoh dibedake sing endi sing Muhammadiyah, sing endi NU, karena memang akar pemikirannya cah nyawiji. Wes kowe kuwi ngikuti serat-serat pemikirane wae, dasar pemikiran. Bedane mung bacaane lho,  bacaane KH Hasyim Asyari karo KH Ahmad Dahlan yo ijtihad kuwi , podo koyo kowe seneng lothek sing nganggo kacang opo lotek gula asem sing ora nganggo kacang. Sing luwih pas karo roso lan pikiran tentremmu sing endi. Urusane karo rosone.


Maka paska Masyumi melayani bubar, dan Soekarno menurunkan Dekrit, dikirimilah Soekarno sepucuk surat oleh banyak ulama. Yang isinya berinti meminta Soekarno menyertakan Piagam Jakarta pada Dekritnya, dan hal ini dilakukan benar-benar pada masa Soekarno, sehingga bunyi Dekrit adalah “kembali ke UUD 1945 dan Pancasila yang dijiwai oleh Piagam Jakarta”, kata “dijiwai” ini yang kelak dihilangkan pada masa Orde Baru. Para ulama memang mengutamakan Islam sebagai falsafah negara, islam dalam kenegaraan, islam termaktub ini rambu-rambu country, islam sebagai dasar negara, bukan negara islam. Tapi hal ini yang sering sekali di alay-alaykan oleh para liberal dan syiah hingga sering sekali isu-isu yang berusaha melarang islam dari negara, meniadakan islam dari negara, menjadikan Majapahit dan Sriwijaya sebagai rujukan,


Mereka itu menyanyikan jane ora podo moco sejarah. Malah dadi dagelan buat pemuda-pemuda yang serius dalam menggiati dan bercengkrama dengan sejarah. Yah, pada akhirnya kita kembali bertasbih saja dalam dagelan itu, karena sungguh Maha Suci Allah dan segala perbendaharaannya telah menciptakan Indonesia yang otentik dari semua segi dagelan lain di muka bumi. Dagelan yang bahkan dapat mendewasakan ummat dalam kebingunan. Wes pokok'e gak ono meneh dagelan koyo ning Indonesia iki.


Pada puncak dagelan yang klimaks, udara akan keluar dari mata. Dagelan yang menghibur menjadi seperti nyawiji dengan tangis yang satir. Membentuk ironi, apakah ini hiburan sebagai sedekah Allah pada manusia Indonesia, atau tangisan yang menandakan cethek dan utek  kita pada ilmu dan kagoknya kita pada kedalaman menyusuri sirath Allah. Wallahu alam, mari belajar kembali, lagi dan terus. Pokok'e saiki yen ditakoki kowe Muhammadiyah opo NU kiro-kiro wes isoh mantep jawabe to yo ?


Sumber :

1. Biografi KH. Ahmad Dahlan Ahyad: Aktivis Pergerakan dan Pembela Ideologi Aswaja” (Pustaka Idea: 2017).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Abah Al Habib Sagaf BSA mencium Tangan Gus Dur

Kisah waliyullah yang di anggap fasik